Kabupaten Wajo adalah salah satu Daerah Tingkat II di
provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di
Sengkang. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.056,19 km² berpenduduk sebanyak
kurang lebih 400.000 jiwa dan bahasa yang digunakan adalah bahasa bugis.
Pembentukan Kerajaan Wajo
Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo).
Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas masyarakat sekitar 605 tahun yang lalu
yang menunjukkan kawasan merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan besar
pada saat itu.
Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo, bahasa Bugis,
artinya pohon bajo) diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat dan
bersepakat membentuk Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat
yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo.
Ada versi lain tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah
We Tadampali, seorang putri dari Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita
penyakit kusta. Beliau dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu
kemudian disebut Majauleng, berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli' (kulit).
Konon kabarnya beliau dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal
sebagai Sakkoli (sakke'=pulih; oli=kulit) sehingga beliau sembuh.
Saat beliau sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia
membangun masyarakat baru, hingga suatu saat datang seorang pangeran dari Bone
(ada juga yang mengatakan Soppeng) yang beristirahat di dekat perkampungan We
Tadampali. Singkat kata mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja Wajo.
Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurung sebagaimana
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah
feodal murni, tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.
Perkembangan Kerajaan Wajo
Dalam sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, kawasan ini
mengalami masa keemasan pada zaman La Tadampare Puang Ri Maggalatung Arung
Matowa, yaitu raja Wajo ke-6 pada abad ke-15. Islam diterima sebagai agama
resmi pada tahun 1610 saat Arung Matowa Lasangkuru Patau Mula Jaji Sultan
Abdurrahman memerintah. Hal itu terjadi setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih
dahulu memeluk agama Islam.
Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara
Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng)
yang membentuk aliansi tellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini
kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng
berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng,
VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak
ingin menandatangani Perjanjian Bungayya.
Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama
pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan
Bone, dibawah pimpinan Arung Palakka.
Setelah Wajo ditaklukkan, tibalah Wajo pada titik
nadirnya. Banyak orang Wajo yang merantau meninggalkan tanah kelahirannya
karena tidak sudi dijajah.
Hingga saat datangnya La Maddukkelleng Arung Matowa
Wajo, Arung Peneki, Arung Sengkang, Sultan Pasir, beliaulah yang memerdekakan
Wajo sehingga mendapat gelar Petta Pamaradekangngi Wajo (Tuan yang memerdekakan
Wajo).
Sejarah Wajo
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk
kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan
terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah :
- Kerajaan
- Republik
- Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu
Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA
WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo
yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan
antara lain :
- LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG
- PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
- LAMUNGKACE TOADDAMANG
- LATENRILAI TOSENGNGENG
- LASANGKURU PATAU
- LASALEWANGENG TO TENRI RUA
- LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)
- LAFARIWUSI TOMADDUALENG
Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Tanah
Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo.
Beberapa versi tentang kelahiran Wajo, yakni :
- Versi Puang Rilampulungeng
- Versi Puang Ritimpengen
- Versi Cinnongtabi
- Versi Boli
- Versi Kerajaan Cina
- Versi masa Kebataraan
- Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun
dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara
Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat
pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan
Majauleng.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya
bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi,
menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya,
LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang
diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan
dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan
tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata
Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi
perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI
TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di
atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI
BALI PETTA BATARA WAJO.
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah
istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang
cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI
menjadi Batara Wajo yang pertama.
Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo,
dikemukakan beberapa versi, yakni :
- Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.
- Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
- Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
- Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal
daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah
belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran
terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.
Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka
disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya,
disebabkan oleh berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan tedahulu, namun
ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan perhatian, yakni adanya
kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya terhadapat Pangadereng, Ade yang
diwarisi dan disepakati, Ade Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade
dengan sitilah ADE MAGGILING JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng
dan sebagainya.
Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya,
sebaliknya perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya adalah satu aspek
terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam menjalankan pemerintahan pada masa
itu. Hal ini dapat kita lihat, pada saat LA TIRINGENG TO TABA dalam
kedudukannya sebagai Arung Simettengpola mengadakan perjanjian dengan
rakyatnya. Perjanjian ini dikenal dengan ”LAMUNGPATUE RILAPADDEPA” (Penanaman
batu = Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).
Inti dari
perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap perintah raja, asalkan
atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian pula raja akan senantiasa
mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade, Pengadereng (hukum), dengan pengakuannya
:
”IO TO WAJO, MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI
RILILAMU MAELO’E PASSUKKA’ RIAKKARUNGEKKU RI BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA
BACU BACUE, ONCOPISA REKKO MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO TO WAJO”
Artinya :
Ya orang-orang Wajo, sekalipun menimbulkan dalam
hatimu atau menggerakkan dalam lidahmu, hendak mengeluarkan aku dari jabatan
kerajaanku di Bettengpola, engkau akan tersapu bersih dari pada tersapunya
batu-batu. Apalagi jika kalian bermaksud jahat terhadapku, maka engkau kering
bagaikan garam.
Pada bagian lain Petta Latiringeng To Taba Arung Sao
Tanre, Arung Simettengpola mengemukakan ”NAPULEBBIRENGNGI TO WAJJOE MARADEKA
NAKKEADE’, NAMAFACCING RI GAU SALAE, NAMATINULU MAPPALAONG, NASABA RESOFA
TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI PAMMASE DEWATA, NAMAFAREKKI WARANG PARANG, NASABA
WARANG PARANGMITU WEDDING MAPPATUWO, WARANG PARANG MITU WEDDING MAPPAMATE”.
Artinya :
Yang menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan
yang menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena
hanya dengan kerja keras sebagai titian untuk mendapatkan limpahan Rahmat dari
Tuhan Yang Maha Kuasa. Hemat terhadap harta benda, karena harta benda orang
bisa hidup sempurna dan harta benda pula bisa mematikan orang.
Apa yang telah diletakkan oleh Batara Wajo Pertama
ini, oleh Batara Wajo dan Arung Matowa berikutnya terus dikembangkan sampai
masa pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO KEEMPAT: LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG,
Wajo mencapai kejayaan. Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun
disempurnakan segala peraturan hukum adat, pemerintahan dan peradilan, dan
mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan demokrasi dan hak-hak azasi
manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public servent) dan konsep Rule
of Law (hukum yang dipertuan bukan raja).
Salah satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara
terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang selanjutnya menjadi motto pada
Lambang Daerah Kaubpaten Wajo (walaupun disingkatkan), antara lain berbunyai :
”MARADEKA TOWAJOE NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMMI
ATA, NAIYYA TOMAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADE ASSAMA TURUSENNAMI NAPOPUANG”.
Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka
sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri
(rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji bersama yang mereka
pertuan.
Kebesaran dan kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam
Lontarak :
MAKKEDATOI ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA TIRINGENG
: ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’
MAPPURAONRONA, NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA IA TONA PASIAMASENGNGE TAUE RI
LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE TAU TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA
TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO WAJO’E MARADEKAE, NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO
WAJO’E MAPACCINNA ATINNA NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI DEWATA
SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA TAU. LATONARO KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’,
PATTAKKEI, PAPPALEPANGNGI, PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO ORAI’, LAO ALAU’,
LAO MANINAG, LAO MANORANG, MATERENG RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.
Artinya:
Berkata Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La Tiringeng:
”Yang membesarkan Wajo, ialah peradilan yang jujur, getang pada adat tetapnya
dan teguh pada adat kebesarannya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang saling
mengasihi di dalam negeri, saling merindui orang-orang yang tidak bersanak dan
mengukuhkan persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena
kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan hatinya dan
kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata Yang Esa dan
menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian itulah yang memutikkan dan
mendaunkan Wajo, menangkaikan dan memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke
barat, timur, selatan dan ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh
orang-orang Wajo”.
Nilai-nilai luhur yang antara lain dikemukakan di
atas, maupun dalam Lontarak Sukkuna Wajo adalah kearifan yang menjadi jati diri
rakyat Wajo, yang seharusnya kita kembangkan dan lestarikan.
Demikianlah sejarah Wajo hingga melebur ke Republik
Indonesia, kemudian ditetapkan sebagai sebuah kabupaten sampai saat ini.
Sumber:
http://www.wajokab.go.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Wajo
Sumber:
http://www.wajokab.go.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Wajo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar