Rabu, 18 Desember 2013

SEJARAH KABUPATEN WAJO



Kabupaten Wajo adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sengkang. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.056,19 km² berpenduduk sebanyak kurang lebih 400.000 jiwa dan bahasa yang digunakan adalah bahasa bugis.

Pembentukan Kerajaan Wajo
Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang (wajo-wajo). Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas masyarakat sekitar 605 tahun yang lalu yang menunjukkan kawasan merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan besar pada saat itu.
Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo, bahasa Bugis, artinya pohon bajo) diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat dan bersepakat membentuk Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo.
Ada versi lain tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah We Tadampali, seorang putri dari Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit kusta. Beliau dihanyutkan hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian disebut Majauleng, berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli' (kulit). Konon kabarnya beliau dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal sebagai Sakkoli (sakke'=pulih; oli=kulit) sehingga beliau sembuh.
Saat beliau sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru, hingga suatu saat datang seorang pangeran dari Bone (ada juga yang mengatakan Soppeng) yang beristirahat di dekat perkampungan We Tadampali. Singkat kata mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja Wajo. Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada umumnya. Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni, tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.

Perkembangan Kerajaan Wajo
Dalam sejarah perkembangan Kerajaan Wajo, kawasan ini mengalami masa keemasan pada zaman La Tadampare Puang Ri Maggalatung Arung Matowa, yaitu raja Wajo ke-6 pada abad ke-15. Islam diterima sebagai agama resmi pada tahun 1610 saat Arung Matowa Lasangkuru Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman memerintah. Hal itu terjadi setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih dahulu memeluk agama Islam.
Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi tellumpoccoe untuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani Perjanjian Bungayya.
Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah pimpinan Arung Palakka.

Setelah Wajo ditaklukkan, tibalah Wajo pada titik nadirnya. Banyak orang Wajo yang merantau meninggalkan tanah kelahirannya karena tidak sudi dijajah.
Hingga saat datangnya La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo, Arung Peneki, Arung Sengkang, Sultan Pasir, beliaulah yang memerdekakan Wajo sehingga mendapat gelar Petta Pamaradekangngi Wajo (Tuan yang memerdekakan Wajo).

Sejarah Wajo
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah :
  1. Kerajaan
  2. Republik
  3. Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu
Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :
  1. LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG
  2. PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
  3. LAMUNGKACE TOADDAMANG
  4. LATENRILAI TOSENGNGENG
  5. LASANGKURU PATAU
  6. LASALEWANGENG TO TENRI RUA
  7. LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)
  8. LAFARIWUSI TOMADDUALENG
Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Tanah Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo.
Beberapa versi tentang kelahiran Wajo, yakni :
  1. Versi Puang Rilampulungeng
  2. Versi Puang Ritimpengen
  3. Versi Cinnongtabi
  4. Versi Boli
  5. Versi Kerajaan Cina
  6. Versi masa Kebataraan
  7. Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :
  1. Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.
  2. Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
  3. Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
  4. Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.
Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya, disebabkan oleh berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE MAGGILING JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya.
Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya, sebaliknya perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya adalah satu aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam menjalankan pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat, pada saat LA TIRINGENG TO TABA dalam kedudukannya sebagai Arung Simettengpola mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian ini dikenal dengan ”LAMUNGPATUE RILAPADDEPA” (Penanaman batu = Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).
Inti dari perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap perintah raja, asalkan atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian pula raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade, Pengadereng (hukum), dengan pengakuannya :
”IO TO WAJO, MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI RILILAMU MAELO’E PASSUKKA’ RIAKKARUNGEKKU RI BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA BACU BACUE, ONCOPISA REKKO MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO TO WAJO”
Artinya :
Ya orang-orang Wajo, sekalipun menimbulkan dalam hatimu atau menggerakkan dalam lidahmu, hendak mengeluarkan aku dari jabatan kerajaanku di Bettengpola, engkau akan tersapu bersih dari pada tersapunya batu-batu. Apalagi jika kalian bermaksud jahat terhadapku, maka engkau kering bagaikan garam.
Pada bagian lain Petta Latiringeng To Taba Arung Sao Tanre, Arung Simettengpola mengemukakan ”NAPULEBBIRENGNGI TO WAJJOE MARADEKA NAKKEADE’, NAMAFACCING RI GAU SALAE, NAMATINULU MAPPALAONG, NASABA RESOFA TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI PAMMASE DEWATA, NAMAFAREKKI WARANG PARANG, NASABA WARANG PARANGMITU WEDDING MAPPATUWO, WARANG PARANG MITU WEDDING MAPPAMATE”.
Artinya :
Yang menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan yang menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena hanya dengan kerja keras sebagai titian untuk mendapatkan limpahan Rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hemat terhadap harta benda, karena harta benda orang bisa hidup sempurna dan harta benda pula bisa mematikan orang.
Apa yang telah diletakkan oleh Batara Wajo Pertama ini, oleh Batara Wajo dan Arung Matowa berikutnya terus dikembangkan sampai masa pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO KEEMPAT: LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG, Wajo mencapai kejayaan. Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun disempurnakan segala peraturan hukum adat, pemerintahan dan peradilan, dan mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public servent) dan konsep Rule of Law (hukum yang dipertuan bukan raja).
Salah satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah Kaubpaten Wajo (walaupun disingkatkan), antara lain berbunyai :
”MARADEKA TOWAJOE NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMMI ATA, NAIYYA TOMAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADE ASSAMA TURUSENNAMI NAPOPUANG”.

Artinya :
Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan.
Kebesaran dan kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam Lontarak :
MAKKEDATOI ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA TIRINGENG : ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA, NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA IA TONA PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE TAU TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO WAJO’E MARADEKAE, NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E MAPACCINNA ATINNA NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI DEWATA SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA TAU. LATONARO KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI, PAPPALEPANGNGI, PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG, LAO MANORANG, MATERENG RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.

Artinya:
Berkata Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La Tiringeng: ”Yang membesarkan Wajo, ialah peradilan yang jujur, getang pada adat tetapnya dan teguh pada adat kebesarannya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang saling mengasihi di dalam negeri, saling merindui orang-orang yang tidak bersanak dan mengukuhkan persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan hatinya dan kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata Yang Esa dan menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian itulah yang memutikkan dan mendaunkan Wajo, menangkaikan dan memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke barat, timur, selatan dan ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh orang-orang Wajo”.
Nilai-nilai luhur yang antara lain dikemukakan di atas, maupun dalam Lontarak Sukkuna Wajo adalah kearifan yang menjadi jati diri rakyat Wajo, yang seharusnya kita kembangkan dan lestarikan.

Demikianlah sejarah Wajo hingga melebur ke Republik Indonesia, kemudian ditetapkan sebagai sebuah kabupaten sampai saat ini.

Sumber:
http://www.wajokab.go.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Wajo

Cerita Rakyat

Belawa adalah salah satu dari 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Wajo. Dalam ruang  waktu yang sukar diterka, kapan terjadinya. Namun kisah ini bermula pada sebuah Kerajaan Kecil yang terletak di sebelah tenggara Kerajaan Rappang, yaitu : Bulu CEnrana. Tidak pula disebutkan nama Rajanya, namun yang diketahui bahwa Baginda Arung Bulu CEnrana pada waktu kisah ini dituturkan, adalah seorang Raja yang sudah berusia lanjut. Demikian pula dengan Permaisuri yang mendampinginya selama ini, beliaupun sudah tua. Rambut mereka sudah serba memutih, seiring dengan para keturunannya yang pada masa itu sudah berlapis 3 alias sudah memiliki cicit.

Sebagaimana kebiasaan pada umumnya Kerajaan-Kerajaan lokal di Sulawesi, bahwa seorang Raja yang dicintai rakyatnya, tidaklah digantikan terkecuali 2 hal, yaitu : Wafat atau mengundurkan diri atas kemauan sendiri dengan menunjuk penggantinya. Begitu pula halnya  dengan  Arung Bulu Cenrana. Baginda tetap memangku jabatannya, namun segala harta bendanya telah habis dibagi-bagikan kepada anak-anaknya. “DE’to nasiaga iya uwanrE sipaddua, nakilEmba ri tana siwaliE” (Tidak seberapa lagi yang kami berdua makan, hingga saatnya meninggalkan dunia fana ini..), begitulah pemikiran Baginda bersama permaisurinya. Mereka saling memperhatikan dengan limpahan kasih sayang yang besar. “Tosiraga-raga mEmengna riwettu tuota mupa..” (Marilah kita saling melimpahkan kasih sayang, mumpung kita masih hidup..).

Namun, “Elo paullEnapa PuangngE mappajaji mua, naiyya rupa tauE : Cinnanami maraja napunnai..”. Manusia hanyalah memiliki keinginan dalam perhitungannya sesuai kelaziman belaka. Dibalik itu, Allah SWT mutlak memiliki kehendak dan ketentuan dalam kuasa-Nya sendiri. Begitulah yang senantiasa diuraikan Sang Ayahanda kita setiapkali flot cerita tiba pada alur kisah ini.  Tanpa disangka, Sang Permaisuri yang sudah tua renta itu mengandung !. Duh.., Saudara Jamil, sebenarnya aku risih meriwayatkan kisah ini, karena pasangan suami isteri yang renta ini adalah leluhurku.. Subhanallah.

Walhasil, setelah mengandung selama 11 bulan, Sang Permaisuri melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat. Maka sang pangeran yang baru lahir ini diberi nama : La Monri. Nama yang diambil berdasarkan  riwayatnya yang terlahir setelah kedua orang tuanya sudah uzur . “Monri” berarti : Belakang, bermakna ia  terlahir belakangan.

Pangeran La Monri tumbuh dengan normal sebagaimana anak-anak lainnya. Namun suatu keistimewaan yang sudah Nampak pada karakternya, bahwa Pangeran Kecil ini memiliki kecerdasan dan penalaran yang melebihi anak-anak seusianya. Beliau yang masih berumur belasan tahun itu, sudah memiliki wawasan berpikir yang menyamai seorang lelaki dewasa.

Sejak kelahiran La Monri, kedua orang tuanya senantiasa berpikir dan merasa iba kepada buah hatinya yang bungsu ini. Masalahnya adalah, segala harta pusakanya telah habis dibagi-bagikan kepada putera puterinya yang lain sebelum La Monri lahir. Sementara Raja dan Ratu ini merasa sudah semakin lemah tubuhnya digerogoti usia tua. “Bagaimana nasib putera kita nanti setelah kita meninggal nanti, kanda ?”, keluh Sang Permaisuri kepada suaminya. Arung Bulu CEnrana tidak bisa menjawab apa-apa. Ia sendiri merasakan gundah sebagaimana isterinya itu.

Hingga pada suatu hari, Arung Bulu CEnrana memanggil semua putera-puterinya, termasuk segenap menantunya. Tak ketinggalan, La Monri juga hadir dalam pertemuan itu sambil duduk melenggut menyandarkan pipinya pada pangkuan ibundanya. Sang Permaisuri membelai rambut putera bungsu yang dikasihinya itu. “ Dengarlah,  wahai anak-anakku. Sengaja Ayahanda mengumpulkan kalian hari ini, tiada lain karena  sebagai panggilan kasih seorang ayah serta naluri cinta seorang ibu..”, kata Arung Bulu CEnrana memulai pembicaraan.  

“Kalian tahu bagaimana nurani seorang tua. Sesuatu yang kalian rasakan jua setelah melahirkan pula putera puteri kalian sendiri..”, lanjut Arung Bulu Cenrana dengan suara serak, sesuatu yang berat baginya untuk mengutarakan maksud hatinya. “TabE’ Puang. Aga sitongengna maElo nassuroeng Petta ri ikkeng ?” (Mohon ampun dibawah duli tuanku, tugas apa gerangan yang hendak tuanku perintahkan kepada kami ?), tanya Arung Lolo PatolaE (Putera Mahkota). Maka menjawablah Arung Bulu Cenrana, : “Tiada maksud lain yang hendak ayahanda dan ibunda kalian minta kepada kalian, yakni : Kasihilah La Monri, adik kalian. Orang tua kalian ini sudah sangat renta, agaknya tidak lama lagi kami akan dipanggil menghadap-Nya. Mengingat segala harta benda kami sudah kubagi-bagikan kepada kalian, maka kami memohon kiranya berilah sedikit bagian dari harta yang kalian miliki dari kami kepadanya. Agar adik kalian yang malang ini dapat pula hidup selayaknya..”. 

Mendengar perkataan itu, ributlah para pangeran dan puteri itu. Mereka saling menunjuk satu sama lainnya. Namun tidak satupun yang rela jika bagian warisannya diambil sebagian kecilnya untuk La Monri. Melihat tingkah kakak-kakaknya itu, maka terenyuhlah hati La Monri. Timbullah iba diri bercampur malu dan kecewa dalam hatinya. Pangeran kecil itu bangkit dari duduknya, seraya menghadap dan menghatur simpuh sembah kepada ayah dan ibunya. “Duhai, ayah bundaku terkasih. Kiranya janganlah merisaukan nasib ananda. Tuhan Yang Maha Kuasa berkehendak menciptakanku di dunia fana ini, maka kepada-Nya jualah ananda bermohon jaminan rezeki dan hidup...  Ananda hanya memiliki satu permohonan terhadap ayah dan bunda berdua. Kiranya berjanjilah untuk mengabulkannya..”, ujarnya bagai meratap.

“Kuru Sumange’mu, anakku.. Katakanlah cepat, nak. Ayah dan ibumu berjanji untuk mengabulkannya..”, kata Arung Bulu Cenrana dengan suara serak dihimpit sedih. “Ananda tidaklah meminta sesuatu yang sulit. Ananda hanya memohon agar dibangunkah sebuah rumah diatas sebuah rakit. Kemudian hanyutkanlah rakit itu, dimana ananda berada diatasnya tanpa ditemani ayah dan ibu..”. Mendengar ucapan anaknya itu, Raja Tua dan permaisurinya itu merasakan bagaikan  ledakan petir menyambar di dekat telinganya. Sang Permaisuri  dan ibu susu La Monri serta segenap Inang pengasuhnya meratap seakan kehilangan sukma jiwanya. “Waduh, anakku sayang. Ibunda mohon, janganlah teruskan niatmu itu..”.

Namun janji telah terlanjur diucapkan. "Sisengmi tauwwE rijajiang..". Manusia dilahirkan hanya sekali, begitu pula dengan janji yang telah disanggupi sebelumnya. "Naiyya ada messuu'E ri timuE, taniana idi' punna..", sesuatu perkataan yang telah keluar dari mulut, bukanlah milik kita lagi. Demikian keteguhan prinsif moral yang menjadi dasar mentalitas orang Bugis pada masa itu.

Akhirnya rakit pembuangan diri sebagaimana yang diminta La Monri telah dibuat. Begitupula hari yang telah ditentukannya sendiri untuk menghanyutkan diri bersama rakitnya juga telah tiba. Tidak boleh tidak, ibu susu dan para inang pengasuhnya minta diikutkan. Mereka memilih membuang diri ke sungai jika La Monri tidak bersedia membawanya serta. "AwwEE, lemmu togaha sunge'ku, massarang waE dadi' malebbiku, riyalireng ronnang ri laowang mabElana.." (Aduh, bagaimana mungkin sukma jiwaku tega berpisah dengan air susu kemuliaanku, dihanyutkan menuju negeri yang jauh..), ratap Indo Kino, ibu susu La Monri. Terpaksa Pangeran Kecil yang dilanda kecewa itu mengabulkan permohonan mereka. Maka dibinalah beberapa rakit lainnya yang memuat serta para pengikut setianya dan segenap keluarganya.

Setelah menghaturkan sembah sujud diujung kaki ayah bundanya, La Monri melangkah ke pinggir sungai. Sebelum kakinya menaiki rakit, ia berdiri menghadap ke para saudara-saudaranya, seraya menghentakkan kaki tiga kali. Kemudian diteriakkannya sumpah sebagai berikut : "Angkalingako sining To Bulu CEnranaE ! Maniang manorang. Orai' Alau. Nasabbi Dewwata SeuwwaE, paccappureng ulEjja'ni tanaana Bulu CEnrana iyE essoE. Uwalireng alEku silollong tinio sunge'ku mattunru tooto. Sangadi tuppui solo' raiku, ulEsu makkalEjja' paimeng ri Tana pajajiangku. Sangadi engkapa buku-bukukku nalarieng balawo, natiwi lEsu romai, nariyasengnga' lEsu ri tana ammEmengengku !" (Dengarlah wahai rakyat negeri Bulu CEnrana ! Yang bermukim di utara dan selatan. Yang berdiam di sebelah barat dan timur. Disaksikan Dewata Yang Tunggal, hari ini adalahyang terakhir kalinya kujejakkan kaki di negeri ini. Kuhanyutkan diriku bersama segenap semangat jiwaku yang mengabdi pada takdirku. Hanyalah jika rakitku mampu melawan arus, barulah kukembali menginjakkan kaki di negeri kelahiranku. Terkecuali jika kelak, tulang belulangku ada yang dibawa lari oleh tikus, lalu dibawanya kembali ke negeri ini, maka akau dikatakan kembali ke tanah asal muasalku !).

Tak bisa lagi digambarkan, bagaimana sedihnya kedua orang tua La Monri, tatkala melihat tali penambat rakit yang memuat putera belahan jiwanya dilepaskan dari tiang labuhannya. Perlahan rakit-rakit itu hanyut di Sungai KarajaE, diiringi ratap tangis para rakyat Bulu CEnrana yang memenuhi pinggir sungai. Semakin lama, rakit-rakit itupun semakin jauh mengikuti arus sungai ke arah selatan, hingga hilang dari pandangan mata yang pelupuknya bersimbah air mata.

Iring-iringan rakit itu hanyut mengikuti kemana air sungai KarajaE mengalir menuju muaranya. Didalam rumah rakit terdepan, La Monri berbaring dengan kepala diatas pangkuan Indo Kino, ibu susunya. Seorang wanita yang menyayangi anak susuannya itu melebihi rasa sayang terhadap jiwa raganya sendiri. Ia membelai rambut sang pangeran kecil yang malang itu sambil menembankan syair pengantar tidur yang indah. Dilagukannya dengan suara yang merdu, keluar dari hati yang jernih, sejernih air sungai KarajaE yang mengalir tenang.
PalEsangni peddimu, Ana' Senrimaku.. Pawajangni ati marenni'mu Alirengni sajang rennummu
Alitutui tinio sumange'mu

Artinya:
Redakanlah pedihmu, duhai anakdaku yang mulia..
Tiliklah hati kecilmu
Hanyutkan saja kecewamu
Jagalah semangat hidupmu


Detik beriringan tiada henti, berkumpul dalam suatu rangkuman menit. Menitpun berlalu menuju kumpulannya, hingga menyatukan diri dalam himpunan jam. Kemudian jam mengikuti perjalanan sang matahari, hingga menamakan kelompoknya dalam suatu hari. Haripun berlalu hingga matahari tergelincir di ufuk barat, digantikan malam menyelimuti bumi dalam tirai gelapnya. Demikian waktu berputar pada siklusnya hingga menyebut diri sebagai saat.. Maka pada suatu hari, berakhirlah perjalanan arus sungai KarajaE pada muaranya yang pertama, yakni Danau Tempe yang luas. Rombongan rakit yang dibawanya dari Bulu Cenrana pun tiba pada tempat itu, terapung-apung ditengah danau yang luas itu.


La Monri berdiri di geladak rakitnya, seraya mengedarkan pandangannya kesekeliling danau. Dilihatnya jika danau itu berada deitengah kumpulan pegunungan. "Sappaani' wiring libukeng, naripasorE rai'E" (Carilah pinggir daratan lalu labuhkanlah rakit kita), katanya. Para pengikutnya yang mengemudikan rakit-rakit itu dengan "Tokong" (sebatang bambu panjang) mengarahkan rakit itu pada pinggir utara agak ke barat pada danau itu. Dari jauh, dilihatnya sebatang pohon Goari yang besar tumbuh di pinggir danau. Maka kesanalah arah buritan rakit diarahkan untuk mendarat.


"Aga asengna iyE libukengngE, Indo' ?" (Apa nama daratan ini, Ibunda ?), tanya La Monri pada ibu susunya beberapa saat setelah mendarat. "DE', uwissengngi Ana Puangku.." (saya tidak tahu, anak tuanku). Demikian pula dengan segenap pengikut yang lain, tidak ada yang mengetahui nama daratan itu. "NarEkko makkoitu palE', ripoasengni iyE LibukengngE : GOARIE" (Kalau begitu, lebih baik jika daratan ini dinamakan saja GOARIE). Maka sampai saat ini perkampungan pinggir danau dimana La Monri beserta pengikutnya mendarat tetap bernama : GoariE. Berasal dari nama sebatang pohon besar yang tumbuh ditempat itu dan dijadikan sebagai petunjuk arah mendarat.

Syahdan, La Monri beserta pengikutnya menetap beberapa lama di tempat itu. Mereka membangun perkampungan sambil memulai bercocok tanam. Para pengikut itu membawa serta cukup banyak biji-bijian serta alat-alat pertanian dari Bulu CEnrana. Selain itu, merekapun dapat pula menangkap ikan yang berlimpah di danau itu. Namun, malang tak dapat diraih. Suatu ketika, saat tanaman palawija yang ditanam dan dirawatnya selama ini sudah siap dipanen, tiba-tiba banjir meluap.  Permukaan danau yang tadinya agak jauh dari perkampungan, tiba-tiba meluas hingga menenggelamkan ternak dan perkebunan mereka. Padahal, hujan tidaklah begitu lebat di daerah itu. Akhirnya mereka mengerti, bahwa danau itu adalah muara banyak sungai dari segala arah. Mereka harus mencari tempat yang lebih tinggi.


Maka La Monri memimpin para pengikutnya kearah utara, tempat yang lebih tinggi. Akhirnya ditemukanlah sebuah dataran tinggi yang banyak ditumbuhi pohon Belawa. Sejenis pohon besar yang getahnya dapat mengakibatkan alergi pada kulit. Seseorang yang tersentuh getahnya akan mengalami pembengkakan pada sekujur tubuhnya disertai gatal-gatal yang nyeri. Sejenis pohon yang ditakuti orang, hingga bahkan memilih hujan-hujanan dari pada berteduh dibawahnya. Demikian pula dengan para pengikut La Monri, mereka enggan membuka perkampungan dikawasan itu. Namun La Monri berkeyakinan tetap, jika pada kawasan inilah mereka menemukan harapan masa depan yang cerah.


Dengan tenangnya La Monri mendekati sebatang pohon Belawa terbesar disekitar tempat itu. Dicabutnya "Sapu Kale' Arajangna Bule Cenrana" (Keris berluk satu, Pusaka Bulu CEnrana) yang dibekalkan kedua orang tuanya, seraya mengucap amsalnya dengan lantang : "TabE', iya'na wija riyalirengna Bulu CEnrana, wanua apolEngenna sia appongengmu, Belawa. Ujeppu tosianguru toto, aja' tosipaitang sussa, tosicalowo manguru lipuu. TabE' kuwassimang mEmeng, inappa kutEbba' to' mannesamu, tekkupalEsso ranru' atuonengmu, nasaba iya minasaE, maEloo'E puasengngi asengmu iyE lipuu'E" (Mohon maaf, akulah putera yang dihanyutkan dari Bulu CEnrana, negeri asal muasal pokok pohonmu, Belawa. Kuketahui jika kita senasib adanya, maka janganlah kisa saling memberi kesulitan, saling mengasihilah kita dalam satu negeri. Kuhaturkan permohonan maafku terlebih dahulu, barulah kutebang pokok pohon lahirmu, tanpa bermaksud menyingkirkan tunas hidupmu, karena tiada lain maksudku, berkeinginan untuk menamakan negeri ini sebagai namamu jua..). Maka ditebaslah batang pohon itu, lalu getahnya dibalurkan pada kulitnya sendiri. Ajaib, tidak terjadi sesuatu pada kulit La Monri. Lalu diperintahkannya pada pengikutnya untuk memulai menebang pohon Belawa dikawasan itu.


Walhasil pada permukaan kisah ini, perkampungan yang dibangun oleh La Monri bersama pengikutnya itu dinamakan sebagai : BELAWA, sesuai sumpah La Monri. Perkampungan itu tumbuh berkembang sebagai pemukiman yang subur. Sawah dan perkebunan dicetak pada lahannya yang datar namun berada pada tempat yang lebih tinggi. Segala tanaman padi dan palawija tumbuh dengan suburnya hingga panen selalu berlimpah. Waktu demi waktu, perkampungan itu semakin ramai karena para masyarakat yang berkaum disekitarnya menggabungkan diri dibawah kepemimpinan La Monri. Hingga ketika Sang Pangeran telah berusia cukup dewasa, maka pemukiman yang sudah besar itu dinyatakan sebagai sebuah Kerajaan dengan La Monri sebagai rajanya yang pertama, bergelar : La Monri Arung Belawa.

Pada suatu waktu terjadi musim paceklik di Bulu CEnrana dan sekitarnya. Masa ketika Arung Bulu CEnrana tua dan permaisurinya (Ayah bunda La Monri) telah wafat. Tanaman padi dan palawija tidak dapat tumbuh berbuah sebagaimana yang diharapkan. Maka terjadilah bencana kelaparan di negeri itu. Arung Bulu CEnrana yang baru dinobatkan menjadi kehilangan akal menghadapi bencana itu. Demikian pula dengan para perangkat kerajaan yang lain.

Dalam suasana memprihatinkan itu, dilihatnya burung-burung pipit terbang berombongan sambil membawa bulir-bulir padi. Mereka membawanya ke sarangnya yang terletak di wuwungan Saoraja (Istana). "Pastilah ada suatu negeri yang sedang panen padi berlimpah. Tapi dimanakah gerangan ?", pikir sang Raja. Lalu diperintahkannya seorang kepercayaannya untuk mengikuti arah terbang burung-burung pipit itu. Baginda berusaha mencari tahu negeri yang makmur itu dengan harapan untuk dimintai bantuan.

Walhasil, alangkah utusan itu mengikuti rombongan burung-burung itu dengan berbagai kesulitan yang ditemuinya dalam perjalanan. Bagaimana tidak ?, burung-burung itu terbang dengan amat cepatnya, sementara ia sendiri harus berjalan kaki merambah hutan rimba yang lebat. Terpaksa ia harus menempuhnya selama berhari-hari. Apabila burung itu tidak bisa diikutinya, ia menunggu di tempat  itu hingga esok hari. Burung-burung mestilah terbang kembali mengikuti jalur terbangnya. Tidak seperti halnya manusia, mereka kadang tidak konsekwen mengikuti alur hidupnya.

Akhirnya tibalah ia di Negeri Belawa. Alangkah terkejutnya ketika menemui penduduk negeri itu adalah orang-orang yang dikenalnya sebagai rakyat Bulu Cenrana juga. Namun ia lebih takjub lagi ketika mengetahui bahwa Raja negeri yang makmur itu adalah La Monri, putera bungsu mendiang junjungannya, Arung Bulu Cenrana. Maka mengahadaplah ia seraya mengutarakan perihal kesulitan yang dialami rakyat Bulu Cenrana.

La Monri sesungguhnya adalah seorang raja yang berjiwa besar. Mengetahui perihal kesulitan yang dialami kakak-kakaknya beserta rakyat mendiang ayahandanya, maka diperintahkannya mengumpulkan padi dan kerbau untuk dikirim ke Bulu Cenrana. Konon, padi-padi itu ditumpuk menyerupai sebuah bukit kecil saking banyaknya. Secara berkelakar, ia menyebut bukit padi itu sebagai "Mojong" (Asal kata Gunung Latimojong). Maka tempat pengumpulan padi itu dinamai hingga sekarang sebagai kampung bernama : Mojong (saat ini menjadi wilayah Kabupaten Sidrap). Kemudian diperintahkannya rakyatnya memanggul padi-padi itu serta menghalau iringan kerbau yang jumlahnya ribuan ke Bulu Cenrana. Berkat kebaikan hati serta kedermawanan La Monri itu, utusan Negeri Bulu Cenrana menyebutnya sebagai " TosagEnaE" (Orang yang berhati lapang).
Maka dalam penyebutan gelar "TosagEnaE" jika menurut kisah ini, telah ada jauh sebelum "Syekh Belawa" (Pu SEhe').


Iring-iringan pemanggul padi ke Bulu Cenrana menyusuri pinggir sungai KarajaE menuju ke utara. Sementara itu para pengembala menghalau kerbau-kerbau yang jumlahnya ribuan itu melalui sungai yang kebetulan pada saat itu sedang dangkal. Namun malang tak dapat dihindari, ketika tiba disuatu tempat yang tidak begitu jauh lagi dari perbatasan wilayah Bulu Cenrana, tanpa diduga sebelumnya air sungai meluap dari arah hulu. Banjir besar melanda dan menenggelamkan ribuan kerbau itu. Demikian pula dengan pemanggul padi beserta bawaannya, tidak luput dari terjangan air bah itu. Mereka terpaksa melepaskan bawaannya untuk menyelamatkan jiwanya.

Maka berlakulah kadar Allah SWT yang diakibatkan oleh sumpah La Monri sebelum meninggalkan Bulu CEnrana. Bahkan hasil keringatnya pun tidak bisa lagi kembali ke daerah asalnya. Peristiwa itu kini menjadi sebuah "Mytos", bahwa : Naiyya tanae Belawa, wedding mua natamai waramparang. NaEkia dE' siseng-siseng nawedding ripessuu waramparangna ri saliwenna ritu.. (Sesungguhnya negeri Belawa dapatlah memasukkan harta benda didalam negerinyanya, namun pantang mengeluarkan harta benda didalamnya ke luar batas negerinya..).

Padi-padi yang hanyut itu kembali lagi ke Belawa dan tumbuh subur di tanahnya. Adapun halnya dengan tempat dimana kawanan kerbau itu tenggelam, didapatkan banyak tengkorak kepala kerbau beserta tanduknya bertebaran ketika sungai mendangkal di musim kemarau. Maka tempat itu dinamai sebagai : "Tanru TEdong" hingga dimasa kini.
Alkisah, DatuE La Monri wafat . Pada masa itu, rakyat Belawa belum menganut agama Islam, sehingga jazad Baginda diperbukan dan ditempatkan dalam sebuah guci (Balugu). Kemudian dengan penuh kebesaran, guci abu itu disemayamkan di Mojong. Baginda ditulis dalam Lontara dengan nama lengkapnya : La Monri Arung Belawa MammulangngE Petta MatinroE ri Gucinna.  
Wallahualam Bissawwab..


Sumber: