Belawa adalah salah satu dari 14 kecamatan
yang ada di Kabupaten Wajo. Dalam ruang waktu yang sukar diterka,
kapan terjadinya. Namun kisah ini bermula pada sebuah Kerajaan Kecil yang
terletak di sebelah tenggara Kerajaan Rappang, yaitu : Bulu CEnrana. Tidak pula
disebutkan nama Rajanya, namun yang diketahui bahwa Baginda Arung Bulu CEnrana
pada waktu kisah ini dituturkan, adalah seorang Raja yang sudah berusia lanjut.
Demikian pula dengan Permaisuri yang mendampinginya selama ini, beliaupun sudah
tua. Rambut mereka sudah serba memutih, seiring dengan para keturunannya yang
pada masa itu sudah berlapis 3 alias sudah memiliki cicit.
Sebagaimana kebiasaan pada umumnya Kerajaan-Kerajaan lokal
di Sulawesi, bahwa seorang Raja yang dicintai rakyatnya, tidaklah digantikan
terkecuali 2 hal, yaitu : Wafat atau mengundurkan diri atas kemauan sendiri
dengan menunjuk penggantinya. Begitu pula halnya dengan Arung Bulu
Cenrana. Baginda tetap memangku jabatannya, namun segala harta bendanya telah
habis dibagi-bagikan kepada anak-anaknya. “DE’to nasiaga iya uwanrE
sipaddua, nakilEmba ri tana siwaliE” (Tidak seberapa lagi yang kami berdua
makan, hingga saatnya meninggalkan dunia fana ini..), begitulah pemikiran
Baginda bersama permaisurinya. Mereka saling memperhatikan dengan limpahan
kasih sayang yang besar. “Tosiraga-raga mEmengna riwettu tuota mupa..” (Marilah
kita saling melimpahkan kasih sayang, mumpung kita masih hidup..).
Namun, “Elo paullEnapa PuangngE mappajaji mua, naiyya
rupa tauE : Cinnanami maraja napunnai..”. Manusia hanyalah memiliki
keinginan dalam perhitungannya sesuai kelaziman belaka. Dibalik itu, Allah SWT
mutlak memiliki kehendak dan ketentuan dalam kuasa-Nya sendiri. Begitulah yang
senantiasa diuraikan Sang Ayahanda kita setiapkali flot cerita tiba pada alur
kisah ini. Tanpa disangka, Sang Permaisuri yang sudah tua renta itu
mengandung !. Duh.., Saudara Jamil, sebenarnya aku risih meriwayatkan kisah
ini, karena pasangan suami isteri yang renta ini adalah leluhurku..
Subhanallah.
Walhasil, setelah mengandung selama 11 bulan, Sang
Permaisuri melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat. Maka sang pangeran yang
baru lahir ini diberi nama : La Monri. Nama yang diambil berdasarkan
riwayatnya yang terlahir setelah kedua orang tuanya sudah uzur . “Monri”
berarti : Belakang, bermakna ia terlahir belakangan.
Pangeran La Monri tumbuh dengan normal sebagaimana anak-anak
lainnya. Namun suatu keistimewaan yang sudah Nampak pada karakternya, bahwa
Pangeran Kecil ini memiliki kecerdasan dan penalaran yang melebihi anak-anak
seusianya. Beliau yang masih berumur belasan tahun itu, sudah memiliki wawasan
berpikir yang menyamai seorang lelaki dewasa.
Sejak kelahiran La Monri, kedua orang tuanya senantiasa
berpikir dan merasa iba kepada buah hatinya yang bungsu ini. Masalahnya adalah,
segala harta pusakanya telah habis dibagi-bagikan kepada putera puterinya yang
lain sebelum La Monri lahir. Sementara Raja dan Ratu ini merasa sudah semakin
lemah tubuhnya digerogoti usia tua. “Bagaimana nasib putera kita nanti setelah
kita meninggal nanti, kanda ?”, keluh Sang Permaisuri kepada suaminya. Arung
Bulu CEnrana tidak bisa menjawab apa-apa. Ia sendiri merasakan gundah
sebagaimana isterinya itu.
Hingga pada suatu hari, Arung Bulu CEnrana memanggil semua
putera-puterinya, termasuk segenap menantunya. Tak ketinggalan, La Monri juga
hadir dalam pertemuan itu sambil duduk melenggut menyandarkan pipinya pada
pangkuan ibundanya. Sang Permaisuri membelai rambut putera bungsu yang
dikasihinya itu. “ Dengarlah, wahai anak-anakku. Sengaja Ayahanda
mengumpulkan kalian hari ini, tiada lain karena sebagai panggilan kasih
seorang ayah serta naluri cinta seorang ibu..”, kata Arung Bulu CEnrana memulai
pembicaraan.
“Kalian tahu bagaimana nurani seorang tua. Sesuatu yang
kalian rasakan jua setelah melahirkan pula putera puteri kalian sendiri..”,
lanjut Arung Bulu Cenrana dengan suara serak, sesuatu yang berat baginya untuk
mengutarakan maksud hatinya. “TabE’ Puang. Aga sitongengna maElo nassuroeng
Petta ri ikkeng ?” (Mohon ampun dibawah duli tuanku, tugas apa gerangan yang
hendak tuanku perintahkan kepada kami ?), tanya Arung Lolo PatolaE (Putera
Mahkota). Maka menjawablah Arung Bulu Cenrana, : “Tiada maksud lain yang hendak
ayahanda dan ibunda kalian minta kepada kalian, yakni : Kasihilah La Monri,
adik kalian. Orang tua kalian ini sudah sangat renta, agaknya tidak lama lagi
kami akan dipanggil menghadap-Nya. Mengingat segala harta benda kami sudah
kubagi-bagikan kepada kalian, maka kami memohon kiranya berilah sedikit bagian
dari harta yang kalian miliki dari kami kepadanya. Agar adik kalian yang malang
ini dapat pula hidup selayaknya..”.
Mendengar perkataan itu, ributlah para pangeran dan puteri
itu. Mereka saling menunjuk satu sama lainnya. Namun tidak satupun yang rela
jika bagian warisannya diambil sebagian kecilnya untuk La Monri. Melihat
tingkah kakak-kakaknya itu, maka terenyuhlah hati La Monri. Timbullah iba diri
bercampur malu dan kecewa dalam hatinya. Pangeran kecil itu bangkit dari
duduknya, seraya menghadap dan menghatur simpuh sembah kepada ayah dan ibunya.
“Duhai, ayah bundaku terkasih. Kiranya janganlah merisaukan nasib ananda. Tuhan
Yang Maha Kuasa berkehendak menciptakanku di dunia fana ini, maka kepada-Nya
jualah ananda bermohon jaminan rezeki dan hidup... Ananda hanya memiliki
satu permohonan terhadap ayah dan bunda berdua. Kiranya berjanjilah untuk
mengabulkannya..”, ujarnya bagai meratap.
“Kuru Sumange’mu, anakku.. Katakanlah cepat, nak. Ayah dan
ibumu berjanji untuk mengabulkannya..”, kata Arung Bulu Cenrana dengan suara
serak dihimpit sedih. “Ananda tidaklah meminta sesuatu yang sulit. Ananda hanya
memohon agar dibangunkah sebuah rumah diatas sebuah rakit. Kemudian
hanyutkanlah rakit itu, dimana ananda berada diatasnya tanpa ditemani ayah dan
ibu..”. Mendengar ucapan anaknya itu, Raja Tua dan permaisurinya itu merasakan
bagaikan ledakan petir menyambar di dekat telinganya. Sang Permaisuri
dan ibu susu La Monri serta segenap Inang pengasuhnya meratap seakan
kehilangan sukma jiwanya. “Waduh, anakku sayang. Ibunda mohon, janganlah
teruskan niatmu itu..”.
Namun janji telah terlanjur diucapkan. "Sisengmi
tauwwE rijajiang..". Manusia dilahirkan hanya sekali, begitu pula
dengan janji yang telah disanggupi sebelumnya. "Naiyya ada messuu'E ri
timuE, taniana idi' punna..", sesuatu perkataan yang telah keluar dari
mulut, bukanlah milik kita lagi. Demikian keteguhan prinsif moral yang menjadi
dasar mentalitas orang Bugis pada masa itu.
Akhirnya rakit pembuangan diri sebagaimana yang diminta La
Monri telah dibuat. Begitupula hari yang telah ditentukannya sendiri untuk
menghanyutkan diri bersama rakitnya juga telah tiba. Tidak boleh tidak, ibu
susu dan para inang pengasuhnya minta diikutkan. Mereka memilih membuang diri
ke sungai jika La Monri tidak bersedia membawanya serta. "AwwEE, lemmu
togaha sunge'ku, massarang waE dadi' malebbiku, riyalireng ronnang ri laowang
mabElana.." (Aduh, bagaimana mungkin sukma jiwaku tega berpisah dengan
air susu kemuliaanku, dihanyutkan menuju negeri yang jauh..), ratap Indo
Kino, ibu susu La Monri. Terpaksa Pangeran Kecil yang dilanda kecewa itu
mengabulkan permohonan mereka. Maka dibinalah beberapa rakit lainnya yang
memuat serta para pengikut setianya dan segenap keluarganya.
Setelah menghaturkan sembah sujud diujung kaki ayah
bundanya, La Monri melangkah ke pinggir sungai. Sebelum kakinya menaiki rakit,
ia berdiri menghadap ke para saudara-saudaranya, seraya menghentakkan kaki tiga
kali. Kemudian diteriakkannya sumpah sebagai berikut :
"Angkalingako sining To Bulu CEnranaE ! Maniang manorang. Orai' Alau.
Nasabbi Dewwata SeuwwaE, paccappureng ulEjja'ni tanaana Bulu CEnrana iyE essoE.
Uwalireng alEku silollong tinio sunge'ku mattunru tooto. Sangadi tuppui solo'
raiku, ulEsu makkalEjja' paimeng ri Tana pajajiangku. Sangadi engkapa
buku-bukukku nalarieng balawo, natiwi lEsu romai, nariyasengnga' lEsu ri tana
ammEmengengku !" (Dengarlah wahai rakyat negeri Bulu CEnrana ! Yang
bermukim di utara dan selatan. Yang berdiam di sebelah barat dan timur.
Disaksikan Dewata Yang Tunggal, hari ini adalahyang terakhir kalinya kujejakkan
kaki di negeri ini. Kuhanyutkan diriku bersama segenap semangat jiwaku yang
mengabdi pada takdirku. Hanyalah jika rakitku mampu melawan arus, barulah
kukembali menginjakkan kaki di negeri kelahiranku. Terkecuali jika kelak,
tulang belulangku ada yang dibawa lari oleh tikus, lalu dibawanya kembali ke
negeri ini, maka akau dikatakan kembali ke tanah asal muasalku !).
Tak bisa lagi digambarkan, bagaimana sedihnya kedua orang
tua La Monri, tatkala melihat tali penambat rakit yang memuat putera belahan
jiwanya dilepaskan dari tiang labuhannya. Perlahan rakit-rakit itu hanyut di
Sungai KarajaE, diiringi ratap tangis para rakyat Bulu CEnrana yang memenuhi
pinggir sungai. Semakin lama, rakit-rakit itupun semakin jauh mengikuti arus
sungai ke arah selatan, hingga hilang dari pandangan mata yang pelupuknya
bersimbah air mata.
Iring-iringan
rakit itu hanyut mengikuti kemana air sungai KarajaE mengalir menuju muaranya.
Didalam rumah rakit terdepan, La Monri berbaring dengan kepala diatas pangkuan
Indo Kino, ibu susunya. Seorang wanita yang menyayangi anak susuannya itu
melebihi rasa sayang terhadap jiwa raganya sendiri. Ia membelai rambut sang
pangeran kecil yang malang itu sambil menembankan syair pengantar tidur yang
indah. Dilagukannya dengan suara yang merdu, keluar dari hati yang jernih,
sejernih air sungai KarajaE yang mengalir tenang.
PalEsangni peddimu, Ana' Senrimaku.. Pawajangni ati marenni'mu Alirengni sajang rennummu
Alitutui tinio sumange'mu
Artinya:
PalEsangni peddimu, Ana' Senrimaku.. Pawajangni ati marenni'mu Alirengni sajang rennummu
Alitutui tinio sumange'mu
Artinya:
Redakanlah pedihmu, duhai anakdaku yang mulia..
Tiliklah hati kecilmu
Hanyutkan saja kecewamu
Jagalah semangat hidupmu
Detik beriringan tiada henti, berkumpul dalam suatu rangkuman menit. Menitpun berlalu menuju kumpulannya, hingga menyatukan diri dalam himpunan jam. Kemudian jam mengikuti perjalanan sang matahari, hingga menamakan kelompoknya dalam suatu hari. Haripun berlalu hingga matahari tergelincir di ufuk barat, digantikan malam menyelimuti bumi dalam tirai gelapnya. Demikian waktu berputar pada siklusnya hingga menyebut diri sebagai saat.. Maka pada suatu hari, berakhirlah perjalanan arus sungai KarajaE pada muaranya yang pertama, yakni Danau Tempe yang luas. Rombongan rakit yang dibawanya dari Bulu Cenrana pun tiba pada tempat itu, terapung-apung ditengah danau yang luas itu.
Tiliklah hati kecilmu
Hanyutkan saja kecewamu
Jagalah semangat hidupmu
Detik beriringan tiada henti, berkumpul dalam suatu rangkuman menit. Menitpun berlalu menuju kumpulannya, hingga menyatukan diri dalam himpunan jam. Kemudian jam mengikuti perjalanan sang matahari, hingga menamakan kelompoknya dalam suatu hari. Haripun berlalu hingga matahari tergelincir di ufuk barat, digantikan malam menyelimuti bumi dalam tirai gelapnya. Demikian waktu berputar pada siklusnya hingga menyebut diri sebagai saat.. Maka pada suatu hari, berakhirlah perjalanan arus sungai KarajaE pada muaranya yang pertama, yakni Danau Tempe yang luas. Rombongan rakit yang dibawanya dari Bulu Cenrana pun tiba pada tempat itu, terapung-apung ditengah danau yang luas itu.
La Monri berdiri di geladak rakitnya, seraya mengedarkan pandangannya kesekeliling danau. Dilihatnya jika danau itu berada deitengah kumpulan pegunungan. "Sappaani' wiring libukeng, naripasorE rai'E" (Carilah pinggir daratan lalu labuhkanlah rakit kita), katanya. Para pengikutnya yang mengemudikan rakit-rakit itu dengan "Tokong" (sebatang bambu panjang) mengarahkan rakit itu pada pinggir utara agak ke barat pada danau itu. Dari jauh, dilihatnya sebatang pohon Goari yang besar tumbuh di pinggir danau. Maka kesanalah arah buritan rakit diarahkan untuk mendarat.
"Aga asengna iyE libukengngE, Indo' ?" (Apa nama daratan ini, Ibunda ?), tanya La Monri pada ibu susunya beberapa saat setelah mendarat. "DE', uwissengngi Ana Puangku.." (saya tidak tahu, anak tuanku). Demikian pula dengan segenap pengikut yang lain, tidak ada yang mengetahui nama daratan itu. "NarEkko makkoitu palE', ripoasengni iyE LibukengngE : GOARIE" (Kalau begitu, lebih baik jika daratan ini dinamakan saja GOARIE). Maka sampai saat ini perkampungan pinggir danau dimana La Monri beserta pengikutnya mendarat tetap bernama : GoariE. Berasal dari nama sebatang pohon besar yang tumbuh ditempat itu dan dijadikan sebagai petunjuk arah mendarat.
Syahdan, La Monri beserta pengikutnya menetap beberapa lama di tempat itu. Mereka membangun perkampungan sambil memulai bercocok tanam. Para pengikut itu membawa serta cukup banyak biji-bijian serta alat-alat pertanian dari Bulu CEnrana. Selain itu, merekapun dapat pula menangkap ikan yang berlimpah di danau itu. Namun, malang tak dapat diraih. Suatu ketika, saat tanaman palawija yang ditanam dan dirawatnya selama ini sudah siap dipanen, tiba-tiba banjir meluap. Permukaan danau yang tadinya agak jauh dari perkampungan, tiba-tiba meluas hingga menenggelamkan ternak dan perkebunan mereka. Padahal, hujan tidaklah begitu lebat di daerah itu. Akhirnya mereka mengerti, bahwa danau itu adalah muara banyak sungai dari segala arah. Mereka harus mencari tempat yang lebih tinggi.
Maka La Monri memimpin para pengikutnya kearah utara, tempat yang lebih tinggi. Akhirnya ditemukanlah sebuah dataran tinggi yang banyak ditumbuhi pohon Belawa. Sejenis pohon besar yang getahnya dapat mengakibatkan alergi pada kulit. Seseorang yang tersentuh getahnya akan mengalami pembengkakan pada sekujur tubuhnya disertai gatal-gatal yang nyeri. Sejenis pohon yang ditakuti orang, hingga bahkan memilih hujan-hujanan dari pada berteduh dibawahnya. Demikian pula dengan para pengikut La Monri, mereka enggan membuka perkampungan dikawasan itu. Namun La Monri berkeyakinan tetap, jika pada kawasan inilah mereka menemukan harapan masa depan yang cerah.
Dengan tenangnya La Monri mendekati sebatang pohon Belawa terbesar disekitar tempat itu. Dicabutnya "Sapu Kale' Arajangna Bule Cenrana" (Keris berluk satu, Pusaka Bulu CEnrana) yang dibekalkan kedua orang tuanya, seraya mengucap amsalnya dengan lantang : "TabE', iya'na wija riyalirengna Bulu CEnrana, wanua apolEngenna sia appongengmu, Belawa. Ujeppu tosianguru toto, aja' tosipaitang sussa, tosicalowo manguru lipuu. TabE' kuwassimang mEmeng, inappa kutEbba' to' mannesamu, tekkupalEsso ranru' atuonengmu, nasaba iya minasaE, maEloo'E puasengngi asengmu iyE lipuu'E" (Mohon maaf, akulah putera yang dihanyutkan dari Bulu CEnrana, negeri asal muasal pokok pohonmu, Belawa. Kuketahui jika kita senasib adanya, maka janganlah kisa saling memberi kesulitan, saling mengasihilah kita dalam satu negeri. Kuhaturkan permohonan maafku terlebih dahulu, barulah kutebang pokok pohon lahirmu, tanpa bermaksud menyingkirkan tunas hidupmu, karena tiada lain maksudku, berkeinginan untuk menamakan negeri ini sebagai namamu jua..). Maka ditebaslah batang pohon itu, lalu getahnya dibalurkan pada kulitnya sendiri. Ajaib, tidak terjadi sesuatu pada kulit La Monri. Lalu diperintahkannya pada pengikutnya untuk memulai menebang pohon Belawa dikawasan itu.
Walhasil pada permukaan kisah ini, perkampungan yang
dibangun oleh La Monri bersama pengikutnya itu dinamakan sebagai : BELAWA,
sesuai sumpah La Monri. Perkampungan itu tumbuh berkembang sebagai pemukiman
yang subur. Sawah dan perkebunan dicetak pada lahannya yang datar namun berada
pada tempat yang lebih tinggi. Segala tanaman padi dan palawija tumbuh dengan
suburnya hingga panen selalu berlimpah. Waktu demi waktu, perkampungan itu
semakin ramai karena para masyarakat yang berkaum disekitarnya menggabungkan
diri dibawah kepemimpinan La Monri. Hingga ketika Sang Pangeran telah berusia
cukup dewasa, maka pemukiman yang sudah besar itu dinyatakan sebagai sebuah
Kerajaan dengan La Monri sebagai rajanya yang pertama, bergelar : La
Monri Arung Belawa.
Pada suatu waktu terjadi musim paceklik di Bulu CEnrana dan
sekitarnya. Masa ketika Arung Bulu CEnrana tua dan permaisurinya (Ayah bunda La
Monri) telah wafat. Tanaman padi dan palawija tidak dapat tumbuh berbuah
sebagaimana yang diharapkan. Maka terjadilah bencana kelaparan di negeri itu.
Arung Bulu CEnrana yang baru dinobatkan menjadi kehilangan akal menghadapi
bencana itu. Demikian pula dengan para perangkat kerajaan yang lain.
Dalam suasana memprihatinkan itu, dilihatnya burung-burung
pipit terbang berombongan sambil membawa bulir-bulir padi. Mereka membawanya ke
sarangnya yang terletak di wuwungan Saoraja (Istana). "Pastilah ada suatu
negeri yang sedang panen padi berlimpah. Tapi dimanakah gerangan ?", pikir
sang Raja. Lalu diperintahkannya seorang kepercayaannya untuk mengikuti arah
terbang burung-burung pipit itu. Baginda berusaha mencari tahu negeri yang
makmur itu dengan harapan untuk dimintai bantuan.
Walhasil, alangkah utusan itu mengikuti rombongan
burung-burung itu dengan berbagai kesulitan yang ditemuinya dalam perjalanan.
Bagaimana tidak ?, burung-burung itu terbang dengan amat cepatnya, sementara ia
sendiri harus berjalan kaki merambah hutan rimba yang lebat. Terpaksa ia harus
menempuhnya selama berhari-hari. Apabila burung itu tidak bisa diikutinya, ia
menunggu di tempat itu hingga esok hari. Burung-burung mestilah terbang
kembali mengikuti jalur terbangnya. Tidak seperti halnya manusia, mereka kadang
tidak konsekwen mengikuti alur hidupnya.
Akhirnya tibalah ia di Negeri Belawa. Alangkah terkejutnya
ketika menemui penduduk negeri itu adalah orang-orang yang dikenalnya sebagai
rakyat Bulu Cenrana juga. Namun ia lebih takjub lagi ketika mengetahui bahwa
Raja negeri yang makmur itu adalah La Monri, putera bungsu mendiang junjungannya,
Arung Bulu Cenrana. Maka mengahadaplah ia seraya mengutarakan perihal kesulitan
yang dialami rakyat Bulu Cenrana.
La Monri sesungguhnya adalah seorang raja yang berjiwa
besar. Mengetahui perihal kesulitan yang dialami kakak-kakaknya beserta rakyat
mendiang ayahandanya, maka diperintahkannya mengumpulkan padi dan kerbau untuk
dikirim ke Bulu Cenrana. Konon, padi-padi itu ditumpuk menyerupai sebuah bukit
kecil saking banyaknya. Secara berkelakar, ia menyebut bukit padi itu sebagai
"Mojong" (Asal kata Gunung Latimojong). Maka tempat pengumpulan padi
itu dinamai hingga sekarang sebagai kampung bernama : Mojong (saat ini menjadi
wilayah Kabupaten Sidrap). Kemudian diperintahkannya rakyatnya memanggul
padi-padi itu serta menghalau iringan kerbau yang jumlahnya ribuan ke Bulu
Cenrana. Berkat kebaikan hati serta kedermawanan La Monri itu, utusan Negeri
Bulu Cenrana menyebutnya sebagai " TosagEnaE" (Orang yang berhati
lapang).
Maka dalam penyebutan gelar "TosagEnaE" jika menurut kisah ini, telah ada jauh sebelum "Syekh Belawa" (Pu SEhe').
Maka dalam penyebutan gelar "TosagEnaE" jika menurut kisah ini, telah ada jauh sebelum "Syekh Belawa" (Pu SEhe').
Iring-iringan pemanggul padi ke Bulu Cenrana menyusuri
pinggir sungai KarajaE menuju ke utara. Sementara itu para pengembala menghalau
kerbau-kerbau yang jumlahnya ribuan itu melalui sungai yang kebetulan pada saat
itu sedang dangkal. Namun malang tak dapat dihindari, ketika tiba disuatu
tempat yang tidak begitu jauh lagi dari perbatasan wilayah Bulu Cenrana, tanpa
diduga sebelumnya air sungai meluap dari arah hulu. Banjir besar melanda dan
menenggelamkan ribuan kerbau itu. Demikian pula dengan pemanggul padi beserta
bawaannya, tidak luput dari terjangan air bah itu. Mereka terpaksa melepaskan
bawaannya untuk menyelamatkan jiwanya.
Maka berlakulah kadar Allah SWT yang diakibatkan oleh sumpah
La Monri sebelum meninggalkan Bulu CEnrana. Bahkan hasil keringatnya pun tidak
bisa lagi kembali ke daerah asalnya. Peristiwa itu kini menjadi sebuah
"Mytos", bahwa : Naiyya tanae Belawa, wedding mua natamai
waramparang. NaEkia dE' siseng-siseng nawedding ripessuu waramparangna ri
saliwenna ritu.. (Sesungguhnya negeri Belawa dapatlah memasukkan harta
benda didalam negerinyanya, namun pantang mengeluarkan harta benda didalamnya
ke luar batas negerinya..).
Padi-padi yang hanyut itu kembali lagi ke Belawa dan tumbuh
subur di tanahnya. Adapun halnya dengan tempat dimana kawanan kerbau itu
tenggelam, didapatkan banyak tengkorak kepala kerbau beserta tanduknya
bertebaran ketika sungai mendangkal di musim kemarau. Maka tempat itu dinamai
sebagai : "Tanru TEdong" hingga dimasa kini.
Alkisah, DatuE La Monri wafat . Pada masa itu, rakyat Belawa belum menganut agama Islam, sehingga jazad Baginda diperbukan dan ditempatkan dalam sebuah guci (Balugu). Kemudian dengan penuh kebesaran, guci abu itu disemayamkan di Mojong. Baginda ditulis dalam Lontara dengan nama lengkapnya : La Monri Arung Belawa MammulangngE Petta MatinroE ri Gucinna.
Alkisah, DatuE La Monri wafat . Pada masa itu, rakyat Belawa belum menganut agama Islam, sehingga jazad Baginda diperbukan dan ditempatkan dalam sebuah guci (Balugu). Kemudian dengan penuh kebesaran, guci abu itu disemayamkan di Mojong. Baginda ditulis dalam Lontara dengan nama lengkapnya : La Monri Arung Belawa MammulangngE Petta MatinroE ri Gucinna.
Wallahualam
Bissawwab..
Sumber:
1xbet korean ᐈ ᐈ 1xbet korean ᐈ 1xbet korean ᐈ 1xbet korean.com
BalasHapus1xbet korean. Best online 1xbet partenaires sports betting site. Best for real money sports betting with bonuses, promotions and more.